TEMPO.CO, Kapuas Hulu - Siapapun bakal kerasan saat rebahan di pondok di pinggir hutan. Berkarib dengan sejuknya alam, dibelai kicauan burung. Surga seperti itu bisa ditemui di kawasan rimba Desa Segitak, Kapuas Hulu.
TEMPO mencicipi nikmatnya menyatu dengan alam di Kalimantan Barat itu, pada Ahad, 29 September 2019. Selama menginap dalam hutan paduan suara kicau burung terus terdengar. Kawasan hutan di Desa Segitak memang belum termahsyur sebagai ekoturisme.
Namun, dengan sentuhan fasilitas menginap dan promosi kawasan Desa Sgitak bisa jadi arena bird watching papan wahid. Atau medan trekking sembari berwisata budaya dan alam, melihat kehidupan Suku Dayak.
Ekowisata menjadi jembatan antara pariwisata untuk menyejahterakan masyarakat sekaligus melestarikan alam -- dua hal yang kadang saling bertentangan.
"Ekoturisme yang ideal tentu tidak mengganggu keseimbangan ekosistem," kata peneliti burung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dewi Malia Prawiradilaga.
Dewi menambahkan bahwa ekoturisme bisa berhubungan antara manfaat ekonomi dan lingkungan. "Masyarakat setempat menikmati manfaat ekonomi sekaligus menjaga hutan serta habitat satwa. Makanya pelaksanaan (ekoturisme) sebaiknya ada kegiatan pemantauan," tuturnya.
Pemandangan belantara hutan di Kawasan Desa Segitak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Warga lokal dapat membantu wisatawan menemukan saat yang tepat berkunjung ke kawasan rimba di Segitak. TEMPO/Bram Setiawan
Berdasarkan aspek keanekaragaman hayati, ekoturisme termasuk kategori jasa lingkungan. "Peran hutan memberikan manfaat pada manusia," kata peneliti ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Joeni Setijo Rahajoe.
Ekoturisme mensyaratkan pelestarian hutan untuk memberi peluang rekreasi, yang bermanfaat bagi hutan itu sendiri dan manusia. Joeni menambahkan, manfaat lainnya, yaitu penalaran, relaksasi, dan refleksi spiritual. "Hal itu masuk dalam jasa lingkungan. Kemudian juga (ekoturisme) perlu menonjolkan pengetahuan tradisional untuk eksplorasi," tuturnya.
Pengelola ekoturisme, kata dia, harus warga lokal. Joeni menjelaskan yang dimaksud pengetahuan tradisional, berguna untuk menetapkan periode kunjungan wisata dan jumlah pelancong, "Kami pun peneliti hanya menerjemahkan untuk kepentingan ilmiah, tapi yang utama pengetahuan tradisional," katanya.
Pengetahuan tradisional itu berkaitan pada siklus tumbuhan dan masa berkembang biak satwa. Ia menambahkan, pengetahuan tradisional itu juga sebagai penunjang konservasi lingkungan. Maka ihwal itu, ia menganggap dalam ekoturisme perlu diatur periode serta jumlah pengunjung berpedoman pengetahuan tradisional.
Ekoturisme dalam pengamatan burung memerlukan panduan masyarakat lokal, agar dapat menunjukkan lokasi pasti keberadaan burung rangkong. Foto: @yayasankehati
"Supaya tidak menjadi mass tourism, itu memberi dampak sosial orang nanti jadi tidak peduli lingkungan," ujarnya.
Ihwal pelancong yang meminati ekoturisme memang dianggap tak umum seperti kegiatan pariwisata konvensional. "Pastinya peminat ekoturisme adalah orang punya rasa ingin tahu yang tinggi tentang daerah tersebut. Bukan wisatawan yang datang sekadar iseng," katanya.
"penting" - Google Berita
November 02, 2019 at 12:00PM
https://ift.tt/2C11Dae
Catat, Ini Dia Kiat Penting Membangun Ekoturisme - Tempo
"penting" - Google Berita
https://ift.tt/2mMnZYW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Catat, Ini Dia Kiat Penting Membangun Ekoturisme - Tempo"
Post a Comment