Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional pada 26 April.
Komitmen politik sering disebut berperan penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi potensi penderitaan manusia dalam ancaman bencana alam, wabah penyakit, kelaparan dan kemiskinan hingga perubahan iklim.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Kerangka Kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana (PRB) menggarisbawahi perlunya kehendak atau komitmen politik untuk menerapkan langkah-langkah proaktif, termasuk pencegahan dan mitigasi, daripada tanggapan reaktif.
Kehendak atau kemauan politik bisa diartikan sebagai himpunan komitmen yang diambil oleh para pemimpin dan pengambil kebijakan, yaitu mereka yang berada di lembaga eksekutif (seperti presiden dan gubernur) maupun lembaga legislatif (pembuat undang-undang dan para politikus).
Mereka memiliki wewenang untuk mengalokasikan sumber daya seperti dana untuk pengurangan kemiskinan, mitigasi bencana, atau pencegahan epidemi. Mereka sering dikenal sebagai pembuat kebijakan di sektor pemerintahan.
Pemimpin yang gagal memprioritaskan agenda yang menjadi perhatian publik, seperti PRB atau isu kesehatan masyarakat, dianggap memiliki komitmen atau kehendak politik yang rendah.
Sebagai negara yang sudah mengadopsi Kerangka Kerja Sendai, Indonesia misalnya masih belum memiliki kehendak politik untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Pendanaan PRB hanya berkisar 7% dari total anggaran dana terkait bencana sejak 2007 hingga 2012, hingga kini.
Agenda PRB, termasuk tindakan mitigasi, seharusnya menerima 25% atau lebih.
Indonesia adalah negara yang berada di jalur Cincin Api dan rentan pada ancaman alam dan bencana sehingga PRB butuh kemauan politik yang baik dari para pemimpin dan politikus.
Mengapa kehendak politik itu penting?
Kehendak politik sering dilihat sebagai faktor kunci dalam membangun ketahanan.
Namun, kehendak politik dalam membangun dan memajukan masyarakat kerap berfokus pada agenda-agenda jangka pendek dan yang mendesak; misalnya agenda-agenda pembangunan ekonomi dan pemenuhan janji politik.
Dalam “keadaan normal”, bencana sering dianggap sebagai peristiwa yang bisa ditunda.
Namun di tengah krisis besar, seperti pandemi COVID-19 saat ini, para pemimpin sering mengambil kebijakan seperti mengalokasikan dana darurat yang sangat besar, yang sebelumnya tidak mungkin digunakan untuk antisipasi bencana.
Tentu hal ini bisa dimaklumi: situasi gawat membutuhkan tindakan darurat dan cepat.
Namun ketika krisis berakhir, para pemimpin biasanya akan kembali mengabaikan PRB dan berfokus pada agenda lainnya.
Perhatian politik mereka kembali seperti semula. Mereka akan kembali fokus pada tujuan jangka pendek seperti bidang ekonomi, daripada kebijakan antisipatif seperti isu perubahan iklim, mitigasi bencana, dan pencegahan pandemi.
Contohnya, pada tahun 2015 terjadi lonjakan alokasi anggaran untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk merespons bencana kebakaran hutan dan lahan nasional. Namun data kemudian menunjukkan bahwa alokasi pada BNPB kemudian menurun tajam pada 2016 dan menyentuh titik terendah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebelum kemudian naik secara drastis akibat kejadian bencana beruntun yang meluluhlantakkan Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah di paruh akhir 2018.
Bagaimana kemauan politik PRB di Indonesia?
Kendati memiliki alokasi PRB cukup rendah, Indonesia relatif lebih baik dari sisi pengetahuan PRB dibandingkan negara lain di ASEAN. Indonesia juga termasuk negara yang memiliki indeks birokrasi kesiapsiagaan yang lebih baik dari anggota ASEAN namun masih berada di belakang Singapora, Malaysia, Vietnam and Thailand.
Indonesia cukup rendah dalam hal investasi publik maupun swasta untuk ketahanan bencana. Hal ini diukur dari penetrasi asuransi bencana yang rendah, lemahnya integrasi PRB dengan agenda lingkungan dan kebijakan perubahan iklim, kurangnya komitmen pada implementasi aturan bangunan (building code), maupun rendahnya komitmen terhadap aturan bangunan, dan penilaian dampak bencana dalam proyek pembangunan.
Menariknya, data-data ini kami dapatkan dari laporan formal yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) sejak 2009. Termasuk peraturan bangunan dan penilaian dampak bencana dalam proyek-proyek pembangunan.
Walau Indonesia memiliki undang-undang penanganan bencana, secara umum data menunjukkan bahwa kemampuan tata kelola PRB Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Yang perlu dicatat, adanya kehendak politik tidak menjamin adanya langkah nyata dalam implementasi kebijakan nyata di masyarakat. Tetapi tanpa kehendak politik, perubahan yang berkelanjutan mustahil terjadi.
Bagaimana mengukur kehendak politik?
Bagaimana kami mengukur kehendak politik dalam mengantisipasi bencana, perubahan iklim dan krisis kesehatan berikutnya?
Saya bersama dengan rekan peneliti di Australia, Indonesia, dan Singapura mengembangkan kerangka analisis kami sendiri. Hal ini memungkinkan karena UNDRR memiliki proses unik dalam mengembangkan sistem laporan kemajuan global yang memungkinkan negara-negara mengisi capaian berdasarkan penilaian sendiri. Dengan menggunakan analisis “scorecard”, kami memproses dan mengubah laporan ini menjadi sebuah basis data global.
Lima variabel utama dalam mengukur kehendak politik untuk PRB:
- Komitmen negara dalam memahami risiko bencana
- Kemampuan tata laksana (governability) risiko bencana
- Kehendak dan kemauan dalam investasi PRB
- Kesigapan dan kesiapsiagaan birokrasi
- Kehendak politik dalam mengembangkan sistem peringatan dini.
Semua variabel ini akan dijumlahkan menjadi “kehendak politik seluruhnya”, yakni proses menghimpun kehendak dan kemauan dalam mengurangi risiko bencana yang dipicu oleh ancaman alam dan risiko iklim.
Singkatnya, agregat kehendak politik harus ditunjukkan dengan produk-produk politik dan administrasi termasuk kebijakan (hukum, aturan, perencanaan) dan implementasi. Data-data ini akan menjadi prediktor tingkat risiko negara-negara terhadap bencana.
Tentu saja, tidak mudah mendapatkan data-data empirik terkait kehendak politik dalam PRB. Namun kami juga menggunakan data-data seperti global governance data – termasuk indeks birokrasi and rule of law, dan indeks kualitas regulasi data. Dengan demikian, kami dapat memprediksi tingkat kemampuan tata laksana dan tata kelola PRB yang dimiliki negara-negara.
Secara umum hasilnya tidak terlalu mengejutkan.
Negara-negara dengan kondisi kualitas kelembagaan rendah secara umum memiliki kehendak politik PRB yang juga rendah. Hal ini bisa terlihat di negara-negara Afrika dan Asia Pasifik. Kemauan yang tertinggi terlihat di negara-negara anggota OECD dan Eropa. Kemudian diikuti oleh negara-negara Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Karibia.
Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari Bahasa Inggris.
"penting" - Google Berita
April 27, 2020 at 02:06PM
https://ift.tt/3cIk3wK
Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana - The Conversation - ID
"penting" - Google Berita
https://ift.tt/2mMnZYW
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana - The Conversation - ID"
Post a Comment